Kamis, 24 November 2011



MASLAHAH MURSALAH MENURUT PANDANGAN PARA MADZAHIB


Dalam penetapan suatu hukum sering kita mendengar istilah demi kemaslahatan umum atau dalam dunia ushul fiqih dikenal dengan istilah maslahah al-ammah, Faktanya terkadang maslahah dijadikan alasan utama dalam penetapan hukum, namun sebenarnya kita masih ragu mengingat hal tersebut memang sangat relatif dan terkesan subyektif. Perlu kita kaji secara lebih jauh mengenai asal muasal konsep maslahah ini sehingga bisa kita jadikan dalil hukum. Berdasarkan penelitian istiqro’ (penelitian empiris) dalam nash-nash Al-Qur’an dan hadist secara tersirat ditangkap bahwa hukum-hukum syari’at islam mencakup pertimbangan kemaslahatan manusia. Dalam ahkamul mu’amalah banyak sekali persoalan umat yang bisa teratasi dengan mengatasnamakan maslahah. Namun penggunaan metode ini menimbulkan kontraversi mengingat pengertiannya secara literal yang menggunakan otoritas rasio dan mempertimbangkan perspektif sebagian kalangan dalam ranah hukum syari’at.
          Maslahah Mursalah merupakan salah satu metode penggalian hukum yang biasa digunakan para ulama dalam menetapkan suatu hukum. Banyak perdebatan sengit terjadi mengenai hakikat dan definisi maslahah, syarat-syarat penggunaannya, sekaligus praktek penerapannya. Oleh karena itu tulisan di bawah ini akan sedikit menguraikan tentang kehujjahan mashalih mursalah sebagai salah satu sumber hukum ditinjau dari beberapa pendapat madzahib ushul.
A.   PENGERTIAN
Secara etimologis, kata المصلحة ,jamaknya المصا لح berarti sesuatu yang baik. Maslahat kadang-kadang disebut pula dengan ( الاستصلاح ) yang berarti mencari yang baik ( طلاب الاصلاح) jalaluddin Abdurrahman secara tegas menyebutkan bahwa maslahah ialah semua hal yang bermanfaat bagi manusia baik untuk meraih kebaikan dan kesenangan maupun yang bersifat untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan. Al-Ghazali menjelaskan bahwa secara harfiah maslahah adalah menarik kemanfaatan dan menghindarkan kerugian. Ibnu Taimiyyah menguraikan bahwa maslahat ialah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara’. Ketiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisir kemaslahatan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan.

B.    PEMBAGIAN MASLAHAT
 Maslahat dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya.
1.    Maslahat dari segi tingkatannya. Menurut Mustafa Al-Kindi maslahat dari segi tingkatan yang menjadi hajat hidup manusia dibedakan menjadi tiga macam.

a.    Maslahat Daruriyat (Primer) Maslahat pada tingkatan ini ialah kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia .
Zakariya Al-Biri menjelaskan bahwa yang termasuk lingkup maslahat daruriyat adalah :
1. Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)
2. Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhoh alal-aql)
3. Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh alan-nasl)
4. Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal)
5. Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin)
Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan atau disebut juga dengan konsep maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud maka tata kehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.
b. Maslahat Hajiyat (Sekunder) ialah segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi, hanya dimaksudkan untuk menghilangkan masyaqot, kesempitan, atau ihtiyath (hati-hati) terhadap lima hal pokok tersebut. Maslahat ini lebih rendah tingkatannya dari maslahah dharury. Sekiranya maslahat ini tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah akan mengakibatkan kerusakan, hanya akan menimbulkan kesulitan saja. Termasuk kategori hajjyat dalam perkara mubah ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang dibutuhkan oleh manusia dalam bermu’amalah, seperti akad muzaro’ah, musaqoh, salam maupun murobahah. Contoh lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dan orang yang sakit ataupun bolehnya mengqoshor sholat ketika dalam perjalanan. c. Maslahat Tahsiniyat atau Kamaliyat (Pelengkap) Maslahat jenis ini tidak dalam rangka merealisasi lima kemaslahatan pokok tidak pula dalam rangka ihtiyath akan tetapi untuk menjaga kehormatan dan melindungi lima hal pokok di atas. Kemaslahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja ( زينة للحاة ) sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting dan dibutuhkan. Di antara contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah diharamkannya memalsu barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya. Hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas. Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak membuat cacat terhadap pokok harta (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang yang membelanjakan hartanya, yang mungkin masih bisa dihindari dangan jalan ihtiyath. Seperti juga contoh pensyari’atan thoharoh sebelum shalat, anjuran berpakaian dan berpenampilan rapih pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan hal-hal serupa lainnya. 2. Maslahat Dilihat Dari Segi Eksistensinya. Dalam menguak metode kontroversial ini terdapat pertalian erat dengan pembahasan qiyas yaitu sisi penggalian illat (legal clause) yakni al-munasabah (pemaparan sifat/kondisi yang secara rasio selaras dengan penerapan hukum.) Bila syara’ mengakuinya berarti al-munasib tersebut layak dijadikan sandaran penetapan hukum. Sebaliknya bila syara’ menolaknya maka tentu ia tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Berpijak dari hal ini ditinjau dari aspek kelayakannya al; munasib terbagi dalam tiga klasifikasi yakni al-munasib al-mu’tabar (syara’ mengukuhkannya) al-munasib al-mulgho (syara’ menolak keberadaannya) dan munasib al-mursal (syara’ tidak menyikapi keberadaannya dengan mengukuhkan atau menolaknya) Jika maslahat dilihat dari segi eksistensi atau wujudnya para ulama ushul, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan , juga membaginya menjadi tiga macam. 1. Maslahat Mu’tabarah ialah kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al – Said Ali Abd. Rabuh. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta benda. Oleh karena itu. Allah SWT. Telah menetapkan agar berusaha dengan untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum pemabuk demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan kepada maslahah mu’tabarah wajib ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatan ia merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan. 2. Maslahat Mulgah Yang dimaksud dengan maslahat ini ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini dengan menolak keberadaannya sebagai variabel penetap hukum (illat). Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash. Namun penyamakan ini dengan alasan kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan yang terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat ini dogmatik yang menghendaki adanya kemaslahatan berupa tindakan jera (al-zajr) tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka tidak diragukan bahwa menurut sebagian orang ia tidak dapat dijadikan illat hukum karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat. 3. Maslahah Mursalah. Ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang mengakuinya ataupun menolaknya. Maslahat ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudhorotan. Karena tidak ditemukan variabel yang menolak ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehannya dijadikan illat hukum. Kalangan Malikiyyah menyebutnya maslahah mursalah, Al-Ghozali menyebutnya istishlah, para pakar ushul fiqih menyebutnya al-munasib al-mursal al-mula’im, sebagian ulama menyebutnya al-istidlal al-mursal, sementara Imam Haromain dan Ibnu Al-Sam’ani memutlakkannya dengan istidlal saja. C. SYARAT-SYARAT PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH Para ulama’ madzhab Maliki dan Hambali menetapkan beberapa persyaratan dalam menerapkan maslahah mursalah : Pertama, bentuk maslahah harus selaras dengan tujuan-tujuan syari’at yakni bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip dasarnya serta tidak melanggar ketentuan nash atau dalil-dalil yang qoth’i Kedua, kemaslahatan tersebut adalah kemaslahatan yang rasional maksudnya secara rasio terdapat runtutan wujud kemaslahatan dengan penetapan hukum Ketiga, maslahah yang menjadi acuan penetapan hukum haruslah bersikap universal/ umum bukan kepentingan individu ataupun kelompok tertentu. Argumentasi penolak Maslahah Mursalah a. Penerapan maslahah mursalah berpotensi mengurangi sakralitas hukum-hukum syari’at karena sarat dengan konflik dan kepentingan pencetusnya, sementara garis syari’at hanya merekomondasikan syari’at secara global saja. b. Maslahah mursalah berada dalam posisi pertengahan antara penolakan syara’ pada sebagian maslahah dan pengukuhannya pada sebagian yang lain, sehingga mengarahkan maslahah mursalah pada salah satu di antara keduanya dianggap tidak layak. c. Penerapan maslahah mursalah akan merusak utinitas (kesatuan) dan universalitas syari’at islam. Hal ini karena hokum akan berubah seiring dengan perubahan zaman, kondisi dan pelakunya, sebab segi kemaslahatan akan senantiasa berubah dan berkembang. D. KEHUJJAHAN MASHLAHAH MURSALAH Golongan Maliky sebagai pembawa bendera Maslahat Mursalah sebagaimana telah disebutkan mengemukakan tiga alasan sebagai berikut: 1. Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahat mursalah diantarannya: - Sahabat mengumpulkan Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan alasan menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya. - Khulafa ar-rosyidun menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang. Padahal menurut hukum asal kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah). Jika tidak dibebani ganti rugi ia akan ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya. - Umar Bin Khattab memerintahkan para penguasa (pegawai negeri) agar memisahkan antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari kekuasaannya - Umar Bin Khattab sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna member pelajaran kepada mereka yang mencampur susu dengan air - Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jama’ah) karena membunuh satu orang secara bersama-sama. 2. Adanya maslahat sesuai dengan maqosid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i) artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syar’i 3. Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahah selama berada dalam konteks maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan. Sedangkan alasan-alasan golongan yang tidak memakai maslahat, adalah : 1. Maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk pelampiasan hawa nafsu 2. Maslahat mu’tabaroh termasuk qiyas dalam arti umum 3. Seandainya kita memakai dalil maslahah sebagai sumber hukum pokok yang berdiri sendiri niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan situasi dan kondisi sehingga syari’at tidak bisa universal (sepanjang zaman) 4. Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat pada penyimpangan hukum syari’at. E. KESIMPULAN DAN TITIK TENGAH PERTENTANGAN PENDAPAT Jumhur Fuqoha’ sepakat bahwa maslahat dapat diterima dalam fiqih islam. Maslahat Mursalah bila diselidiki ternyata terdapat pada seluruh madzhab. Sebab mereka ada yang menggunakan pendekatan qiyas ada yang menggunakan pendekatan sifat munasib yang tidak menganggap perlu adanya dalil. Padahal sebenarnya itulah yang disebut maslahah mursalah. Akar perbedaan pendapat mengenai maslahah muralah sebagai hujjah syar’iyah terletak pada sisi pandangan mereka terhadap maslahah mursalah. Kelompok Imam Malik serta Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa maslahat yang mereka pakai berpijak pada syarat-syarat yang dibenarkan oleh syara’ bukan berdasarkan hawa nafsu atau menyimpang dari kebenaran sebagaimana pandangan kelompok yang menentang kehujjahan maslahah mursalah. Kelompok yang diwakili madzhab Hanafi, Syafi’i dan Madzhab Zahiri menekankan kehati-hatian dengan berbagai persyaratan maslahah yang sesuai dengan tujuan syari’at. Banyak persoalan baru bisa dikategorikan Maslahah Mursalah. Artinya persoalan baru itu memang mengandung maslahat dan dibutuhkan manusia dalam membangun kehidupan mereka, tetapi tidak ditemukan dalil yang mengakui ataupun menolaknya. Hal ini akan terus berlangsung sepanjang masa dengan berbagi perbedaan latar belakang sosial budaya dan untuk mengatasinya tidak lain hanyalah dengan pendekatan maslahah mursalah.

DAFTAR PUSTAKA  

1. Prof. Muhammad Abu zahrah Ushul Fiqih Pustaka Firdaus Jakarta 2007 
2. Drs. Romli SA, M.ag Muqoronah Mazahib Fil Ushul Gaya Media Pratama Jakarta 1999 
3. Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam Forum Karya Tulis Ilmiah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi’in PP. Lirboyo Kediri 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar